Tangis Perpisahan para Pecinta Ramadhan



Tanpa kusengaja aku bertemu Ramadhan sedang berkemas-kemas hendak pergi, 
lalu kuberanikan diri untuk menyapanya, 

Wahai Ramadhan, hendak kemanakah engkau? 

Dengan lembut ia berkata, Assalamu alaikum, maafkan aku, aku harus pergi, mungkin jauh dan sangat lama, 

Tolong sampaikan pesanku untuk saudara-saudara kalian semua, dimanapun kalian berada. 

Ketahuilah bahwa Syawal sebentar lagi akan tiba karena itu aku akan pergi, Sampaikanlah salam dan rasa terimakasihku pada mereka atas sambutan dan penghargaan kalian padaku yang begitu tinggi. Sungguh aku sangat terharu dan aku juga merasakan kesukacitaan kalian atas kedatanganku beberapa hari yang lalu, namun saatnya telah tiba, setelah kita bercengkrama dan memadu kasih dalam rahmat dan maghfirah Allah selama satu bulan, sekarang aku harus meninggalkan kalian. 

Janganlah menangis, Hapuslah airmata kesedihanmu, kelak aku akan sambut kalian di Pintu Syurga Ar-Rayan. 

Selamat meraih pahala terbaik pada detik-detik terakhir kita. 
Masih ada sisa waktu untuk melepas kasih bersama untuk menggapai Lailatur Qadar. 
Malam kesempurnaan-ku untuk kalian. 

 

Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. 

Waktu terus bergulir dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu. Rasanya baru kemarin kita begitu bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan tarbiyah, bulan latihan, bulan Quran, bulan maghfirah, bulan yang penuh berkah. Namun beberapa saat lagi, Ramadhan akan meninggalkan kita, padahal kita belum optimal melaksanakan qiyamul lail kita, belum optimal membaca Al-Quran serta belum optimal melaksanakan ibadah-ibadah lain, target-target yang kita pasang belum semuanya terlaksana. Dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih dapat berjumpa dengan Ramadhan berikutnya. 

Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi meninggalkan mereka, mereka selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap sebuah doa yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan Ramadhan menghampiri diri mereka. 

Orang-orang zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beritikaf. Dan di sela-sela Itikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka. 

Ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya. 

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku. 

Kemudian ada seorang sahabat bertanya, Apakah musibah itu, ya Rasulullah? 

Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala kebajikan digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka apakah musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu? 

Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih. 

Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Taala. 

Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang. 

Suatu hari, pada sebuah shalat Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya, Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut. 

Salah seorang di antara jamaah terlihat sedih. 

Seseorang kemudian bertanya kepadanya, Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan? 

Ucapanmu benar, wahai sahabatku, kata orang tesrebut. Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak. 

Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam, Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat melayatnya. 

Ucapan Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Masud RA, Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita layati. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, keperkasaan Allah adalah musibah bagimu. 

Imam Mualla bin Al-Fadhl RA berkata, Dahulu para ulama senantiasa berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal ibadah mereka (selama Ramadhan). 

Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat. 

Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di antara kita dan mereka. 

Bagaimana dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya menyambut kedatangan Hari Raya Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir, yang seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain. 

Selamat tinggal Ramadhan, semoga kita berjumpa kembali ditahun depan… 

 

“Wahai hamba-hamba Allah, sungguh bulan Ramadhan telah bertekad untuk pergi, dan tidak tersisa waktunya kecuali sedikit, maka siapa yang telah berbuat baik di dalamnya hendaklah ia sempurnakan, dan siapa yang telah menyia-nyiakannya hendaklah ia menutupnya dengan yang lebih baik.” [Lathooiful Ma’arif, Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah, hal. 216] 

Hingga tak tersisa lagi selain air mata penyesalan dan renungan perpisahan, bersama doa dan harapan, semoga berjumpa lagi di masa yang akan datang, 

“Bagaimana mungkin air mata seorang mukmin tidak menetes tatkala berpisah dengan Ramadhan, Sedang ia tidak tahu apakah masih ada sisa umurnya untuk berjumpa lagi.” [Lathaaiful Ma’aarif, Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah, hal. 217] 

A-109

Kaos Dakwah Islami

A-139

Kaos 5 Pillars of Islam

A-139

Kaos Ali Bin Abi Thalib


Comments