Saya teringat masa itu. Saat Ahok di DPR. Media meliputnya berbicara berapi-api saat rapat. Bicaranya jelas dan trengginas. Tanpa tedeng aling-aling dia beberkan logika anggaran yang tidak dipahami awam. Semua mata menuju pada sosoknya. Seperti tidak takut mati. Ia mematahkan pendapat umum bahwa anggota DPR hanya kumpulan begundal yang kerjanya memanipulasi anggaran. Maka tak pelak, dalam diam saya mengaguminya saat itu. "Ini orang yang dibutuhkan bangsa ini" pikir saya saat itu. Itu pulalah yang mungkin terbersit dalam benak khalayak waktu itu. Sampai tiba pesona itu mengantarkannya duduk manis bersebelahan di singgana DKI bersama Jokowi. Apakah waktu itu mayoritas muslim mempermasalahkan agamanya yang kristen? Tidak. Apakah waktu itu ada demonstrasi besar-besaran menentangnya? Tidak. Kurang bhinneka tunggal ika apa umat muslim saat itu? Bahkan kami mengesampingkan cara bicaranya meledak-ledak kotor demi melihat penampakannya yang berkinerja baik. Dan Ahok memang menjalankannya dengan baik.
Sampai saat itu tiba. Insiden "Kepulauan Seribu". Dengan intonasi yang jernih ia berbicara " Jangan mau dibohongi pakai surat Al-Ma'idah 51" demikian katanya di depan masyarakat yang mayoritas muslim. Dari situlah api dipantik. Mulanya kecil lalu dengan cepat merambat ke segala arah. Api itu semakin membesar dan membakar apa saja. Gelombang perlawanan terhadap pernyataan itu susul menyusul. Membangkitkan umat islam dari tidurnya. Menggerakkan jutaan orang ke Jakarta demi untuk menuntut koreksi kata yang tak sepatutnya diucapkan oleh figur pemimpin. Istilah penistaan mulai mengudara. Semakin membakar situasi yang sudah panas pada mulanya. Dan bola api itu hingga kini tak mau padam. Situasi semakin runyam karena ada indikasi intervensi pemerintahan. Masyarakat terpecah belah oleh pilihan keberpihakan. Kubu-kubu saling berhadapan, seperti tinggal waktu untuk saling tikam.
Saudara kami Kristiani mungkin sulit memahami mengapa soal ucapan Ahok itu muslim masalahkan. Baik, saudaraku mungkin ilustrasi ini bisa menjelaskan psikologis umat islam saat ini. Bayangkan saya yang muslim ini sedang bertandang ke Pulau Samosir. Di tengah hiruk pikuk kerumunan orang, karena saya adalah orang penting di pemerintahan, tetiba saya mengatakan demikian. "Bapak...ibu....jangan mau dibohongi pakai ayat-ayat dalam Injil" dengan santai dan jelas saya mengatakannya. Maka apa yang muncul dalam benak Anda? Bahwa saya lancang mengutip Alkitab yang saya tak mengerti hakikatnya? Iya. Bahwa saya tidak memikirkan perasaan pendengar yang mayoritas kristen? Iya. Bahwa saya sebagai pemimpin tak sepatutnya berkomentar demikian? Iya.
Serangan kata-kata yang dilancarkan oleh orang yang sebelumnya telah berakidah berbeda hanya akan menghancurkan pondasi persahabatan antar umat yang pernah terbina. Saudaraku kristiani, Anda dan saya mungkin berbeda keyakinan. Isi keyakinan kita pun saling menyalahkan. Aku kafir bagimu, kamu kafir bagiku. Itu jelas. Tapi itu bukan berarti kita tidak bisa saling hormat dan tolong menolong. Engkau jalankan agamamu dengan baik, aku menjalani agamaku dengan baik. Maka puncak keimanan kita adalah cinta. Persoalan ada bibit kekerasan yang kau lihat dalam umatku, bukankah setiap agama pasti ada spektrum kelompok radikal yang ingin memberangus keyakinan lainnya?
Persoalan ini menjadi semakin kusut. Umat nasrani menganggap bahwa semua umat islam itu berangasan dan tanpa kompromi dengan keyakinan lainnya. Umat muslim menganggap bahwa umat nasrani di Indonesia itu diwakili oleh sosok Ahok. Yang bila berbicara tanpa tenggang rasa, sengaja lancang mengutip kitab yang ia sendiri tidak meingimaninya. Di dalam umat islam sendiri, Ahok seakan berhasil menjadikan muslim terpecah dua. Di pihaknya, muslim yang dianggap "moderat", yang mampu menerima nonmuslim sebagai pemimpinnya, yang konon menjunjung tinggi kebhinnekaan di atas kepalanya. Di lain pihak dicap sebagai muslim yang kaku, yang tidak toleran, yang tidak mampu menerima nonmuslim sebagai pemimpinnya. Kusut masai. Saling bersitegang membawa pedang untuk saling menggorok leher saudaranya. Semakin runcing berselisih. Sementara setiap saat emas Papua diboyong ke Amerika.
Tendensi. Itu adalah sifat primordial yang tak terelakkan. Bila ada dua paslon, yang satu kristen, yang satu muslim. Bohong rasanya bila mayoritas kristen akan memilih muslim, begitu juga sebaliknya. Bahkan bila Injil tidak melarang memilih pemimpin muslim, tetap saja kristen akan cenderung memilih kristen. Manusia memilih sosok seseorang, tanpa ia sadari adalah sosok yang paling mewakili dirinya. Yang sama secara agama, bila mungkin daerah asalnya dan juga sama sukunya. Tendensi tak bisa kita bohongi.
Maka bila dalam Al-Qur'an tendensi itu dengan jelas diuraikan dalam ayatnya, maka saudara nasraniku itu bukan berarti kami tidak toleransi padamu.
Kami tidak mengucapkan selamat natal padamu, kami tidak memilih pemimpin dalam golonganmu, kami menandai kepercayaan di luar islam dengan kelompok kafir...itu bukan berarti kami tidak bisa bersahabat denganmu, tidak bertoleransi padamu. Semua itu adalah titah dalam kitab Al-Qur'an yang kami yakini.
Justru itulah ujian bagimu. Apakah kau bertoleransi dengan segala pernik keyakinan yang aku yakini dalam Ai-Qur'an? Karena aku bertoleransi dengan segala pernik keyakinanmu. Aku bertoleransi dengan keyakinanmu bahwa Jesus adalah tuhan, meskipun Jesus dalam keyakinan kami sebatas The Messenger of God. Aku menerima apapun yang kau yakini dalam Bible, dalam Injilmu. Maka adil rasanya bila kau pun menerimaku mengimani Al-qur'anku.
Ahok. Laki-laki itu akan menjadi bagian dari sejarah Indonesia yang cukup fenomenal. Bila kita terus-menerus menatapnya dan tak menjalin komunikasi antar kita. Bisa jadi Ahok di kemudian hari akan dikenang sebagai tonggak alasan untuk menghunus pedang. Api pertama yang membakar sesuatu paling penting yang dimiliki bangsa ini. Sesuatu itu kita kenal sebagai "Persahabatan dalam perbedaan."
#prayforindonesia
Sumber tulisan Isnawan Widyayanto
Kaos Dakwah Islami |
Kaos 5 Pillars of Islam |
Kaos Ali Bin Abi Thalib |
Comments
Post a Comment